Makalah Optik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kita ketahui bahwa optika sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam dunia kesehatan (ilmu biologi) maupun dalam ilmu fisika. Optika yang
merupakan ilmu yang mempelajari tentang cahaya terdapat dua golongan, yaitu
optika geometris dan optika fisis. Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang
dapat merambat dalam ruang hampa. Dalam berbagai hal cahaya lebih mudah
ditinjau berdasarkan garis perambatannya, yaitu garis yang tegak lurus muka
gelombang. Garis rambatan gelombang cahaya disebut sinar cahaya atau secara
singkat disebut sinar. Setiap hari kita tak lepas dari cahaya. Oleh karena itu,
dalam pembahasan ini menjelaskan tentang cahaya terutama sifat-sifat cahaya,
hakikat, dan pemanfaatannya.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari
makalah ini sebagai berikut:
1.
Apa pengertian optika?
2.
Apa yang dimaksud dengan
optika geometris dan pemaparannya?
3.
Apa yang dimaksud dengan
optika fisis dan pemaparannya?
1.3
Tujuan
1.
Melengkapi tugas mata kuliah
Optik yang diberikan oleh dosen pengampu, sebagai bahan dasar presentasi.
2.
Memberi pengetahuan
mahasiswa tentang Optika, yang meliputi optika geometris dan optika fisis.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Optika
Optika
merupakan cabang ilmu fisika yang mempelajari tentang konsep cahaya, terutama
mengkaji sifat-sifat cahaya, hakikat, dan pemanfaatannya. Optika terbagi ke
dalam dua bagian yaitu Optika Geometris dan Optika Fisis.
2.1 Optika Geometris
Optika
Geometris merupakan optika yang membahas tentang pemantulan dan pembiasan
cahaya.
Sifat cahaya sama dengan sifat gelombang
elektromagnetik. Cahaya dan gelombang elektromagnetik dapat merambat dalam
ruang vakum (ruang hampa).
2.1.1 Pemantulan Cahaya
2.1.1.1 Jenis-jenis pemantulan cahaya
Gambar 2.1
Pemantulan teratur Gambar 2.2
Pemantulan baur
Pemantulan teratur terjadi ketika
suatu berkas cahaya sejajar datang pada permukaan yang halus atau rata seperti
permukaan cermin datar atau permukaan air yang tenang.
Sedangkan pemantulan baur terjadi
ketika suatu berkas
cahaya sejajar datang pada permukaan
yang kasar atau tidak rata sehingga dipantulkan keberbagai arah yang tidak
tertentu.
2.1.1.2
Hukum pemantulan
Gambar 2.3 Hukum pemantulan
Dari hasil
percobaan sesuai gambar 2.3, diperoleh hukum pemantulan sebagai berikut:
1) Sinar datang, sinar pantul, dang
garis normal berpotongan pada satu titik dan terletak pada satu bidang datar.
2) Sudur datang (i) sama dengan sudut pantul (r)
Sehingga hukum pemantulan dapat dinyatakan secara
matematis sebagai berikut:
i = r
2.1.2
Pemantulan Pada Cermin Datar
Gambar 2.4 Pemantulan pada cermin datar
2.1.2.1
Sifat-sifat
bayangan pada cermin datar
Lima sifat penting banyangan pada cermin datar yaitu:
1.
Bayangan sama besar dengan bendanya
2.
Bayanagan tegak
3.
Jarak bayangan ke cermin sama dengan jarak benda ke
cermin
4.
Bayangan bertukar sisinya
5. Bayangan
bersifat maya atau semu
2.1.2.2 Jumlah banyangan yang dibentuk oleh
dua buah cermin datar
Apabila sudut apit dua buah cermin datar α besarnya
diubah-ubah, maka secara empiris jumlah bayangan yang dihasilkan memenuhi
hubungan
n
=
– 1
Keterangan:
n
= jumlah bayangan
α
= sudut apit kedua cermin datar
2.1.3 Pemantulan Pada Cermin Lekung
Cermin
lekung adalah cermin yang mempunyai permukaan pantul berbentuk lengkung. Cermin
lengkung dibedakan menjadi dua, yaitu cermin cekung dan cermin cembung.
2.1.3.1
Cermin Cekung
Cermign cekung bersifat mengumpulkan
sinar. Berkas sinar yang datang sejajar sumbu utama akan akan dipantulkan
mengumpul pada suatu titik yang disebut titik fokus (F). Secara geometris dapat
dibuktikan bahwa panjang fokus (f),
yaitu jarak cermin ke titik fokus besarnya sama dengan setengah panjang
jari-jari kelengkungan cermin.
Gambar 2.5
Cermin cekung
Untuk melukis sinar yang berasal dari sebuah benda yang menuju sebuah
cermin, terdapat tiga sinar utama yang berguna untuk menentukan lokasi bayangan
dan sering disebut sinar-sinar istimewa, yaitu:
1)
Sinar datang yang sejajar dengan sumbu utama
dipantulkan melalui titik fokus.
2)
Sinar datang yang melalui titik fokus dipantulkan
sejajar dengan sumbu utama.
3)
Sinar datang yang melalui titik pusat kelengkungan
cermin (C) dipantulkan melalui titik itu juga.
Gambar 2.6 Sinar-sinar istimewa
Rumus umum cermin cekung
Gambar 2.7 Prinsip kesebangunan
geometri untuk menurunkan rumus umum cermin
Gambar 2.7 (a)
menunjukkan suatu sinar dari puncak benda yang akan dipantulkan melalui puncak
bayangan dengan sudut datang yang sama dengan sudut pantul. Oleh karena itu,
kita dapat melihat dua buah segitiga yang sama sebangun, sehingga berlaku:
Gambar 2.7 (b)
menunjukkan suatu sinar dari benda melalui titik fokos (F) yang dipantulkan
sejajar dengan sumbu utama melalui bayangan. Oleh karena itu, kita dapat
melihat dua buah segitiga yang sama sebangun, sehingga berlaku:
Keterangan:
f = jarak fokus cermin
so =
jarak benda ke cermin
si
= jarak bayangan ke cermin
ho =
tinggi benda
hi = tinggi
bayangan
Dari persamaan di atas
berlaku untuk cermin cekung maupun cermin cembung, namun harus memperhatikan
perjanjian tanda berikut:
so bertanda + jika benda terletak di depan cermin (benda nyata)
so bertanda - jika benda
terletak di belakang cermin (benda maya)
si bertanda + jika bayangan
terletak di depan cermin (banyangan nyata)
si bertanda - jika benda
terletak di belakang cermin (banyangan maya)
f bertanda
+ untuk cermin cekung
f bertanda
- untuk cermin cekung
Bayangan yang dibentuk
cermin dapat lebih besar atau lebih kecil dari ukuran bendanya. Untuk
menyatakan perpandingan ukuran bayangan terhadap bendanya digunakan konsep
pembesar. Pada pembahasan ini akan dibahas perbesaran linear. Perbesaran linear
didefinisikan sebagai perbandingan antara tinggi bayangan (jarak bayangan)
dengan tinggi benda (jarak benda). Secara matematis dituliskan:
Cermin cembung bersifat menyebarkan sinar. Berkas sinar sejajar sumbu utama
dipantulkan menyebar seolah-olah berasal dari titik fokus (F). Seperti pada
cermincekung, panjang fokus (f) sama
dengan setengah jari-jari kelengkungan cermin.
Sinar-sinar
istimewa pada cermin cembung
1)
Sinar datang yang sejajar dengan sumbu utama
dipantulkan seolah-olah berasal dari titik fokus.
2)
Sinar datang yang menuju titik fokus dipantulkan
sejajar dengan sumbu utama.
Gambar 2.8 Sinar-sinar istimewa pada cermin cembung
Rumus umum cermin cembung
Rumus-rumus
yang berlaku pada cermin cekung serta perjanjian tandanya berlaku juga untuk
cermin cembung sehingga dapat dituliskan ulang sebagai berikut:
2.1.4
Pembiasan Cahaya
Pembiasan adalah
pembelokan cahaya sehubungan dengan perubahan kecepatan rambat dari suatu
medium ke medium lain.
2.1.4.1 Hukum Pembiasan
Ada beberapa pengertian
yang perlu dipahami sebelum membahas tentang hukum pembiasan, yaitu:
a.
Sinar datang adalah
sinar yang datang pada bidang batas dua medium.
b.
Sinar bias adalah sinar
yang dibiaskan oleh bidang batas dua medium.
c.
Garis normal adalah
garis yang tegak lurus pada bidang batas dua medum.
d. Sudut datang (i) adalah sudut antara sinar datang dengan garis normal.
d. Sudut datang (i) adalah sudut antara sinar datang dengan garis normal.
e.
Sudut bias (r) adalah sudut antara sinar bias dengan
garis normal.
f.
Indeks bias mutlak
suatu medium (n) didefinisikan
sebagai perbandingan cepat rambat cahaya di ruang hampa (c) terhadap cepat rambat cahaya di medium tersebut (v). Secara matematis dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Karena kecepatan cahaya di dalam suatu
medium selalu lebih kecil daripada di ruang hampa maka indeks bias mutlak suatu
medium selalu lebih besar dari 1 (n > 1).
Indeks bias relatif suatu medium nr didefinisikan sebagai
pepandingan indeks bias mutlak medium tersebut terhadap indeks bias mutlak
medium lain, secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut.
Keterangan:
n12
= indeks bias relatif medium 1 terhadap 2
n1 = indeks bias mutlak medium 1
n2 = indeks bias mutlak medium 2
v1 = laju cahaya dalam medium 1
v2 = laju cahaya dalam medium 2
Karena
indeks bias relatif adalah perbandingan indeks bias antara dua medium, maka
indeks bias relatif ini bisa bernilai lebih besar atau lebih dari satu.
Gambar 2.9 Hukum pembiasan
Berdasarkan
hasil percobaan yang dilakukan oleh Willebrord Snellius (1591 – 1626), seperti
pada gambar 2. Diproleh hukum pembiasan atau hukum Snellius sebagai berikut:
1)
Sinar datang, sinar
bias, dan garis normal berpotongan pada suatu titik dan terletak pada satu
bidang datar.
2)
Sinar datang dari
medium yang kurang rapat ke medium yang lebih rapat dibiaskan mendekati garis
normal.
3)
Sinar datang dari
medium yang lebih rapat ke medium yang kurang rapat dibiaskan menjauhi garis
normal.
4)
Sinar datang secara
tegak lurus terhadap bidang batas dua medium tidak dibiaskan, melainkan
diteruskan.
Hukum pembias tersebut dapat dinyatakan secara matematis sebagai
berikut.
n1 sin i =
n2 sin r
Keterangan:
n1 = indeks bias mutlak medium 1
n2 =
indeks bias mutlak medium 2
i =
sudut datang
r = sudut bias
Gambar 2.10 Pembiasan pada kaca
plan-paralel
Untuk kaca plan-paralel
dengan ketebalan d maka sinar akan
mengalami pergeseran sebesar t yang dapat
diturunkan sebagai berikut:
Perhatikan segitiga
OBC:
sin sudut COB =
t = OB sin sudut COB
t = OB sin (i – r)
Perhatikan segitiga
OAB:
cos
r = OA/OB = d/OB
dengan menggabungkan
kedua persamaan di atas, diperoleh
dimana r dapat dihitung dari hukum Snellius (n1
sin i =n2 sin r).
2.1.5 Pembiasan Cahaya pada Bidang Lengkung
Hukum
pembiasan Snellius dapat juga diterapkan pada bidang lengkung terutama untuk
sinar-sinar paraksial. Gambar 2.9 memperlihatkan suatu batas permukaan
lengkungan yangg mempunyai jari-jari kelengkungan R dan pusatnya adalah titik C.
Cahaya datang dari benda di titik O,
mengenai bidang batas dengan sudut datang i
dan dibiaskan dengan sudut bias r ke
titik I memenuhi hukum Snellius.
Gambar 2.11 Pembiasan cahaya pada
bidang lengkung
Untuk
sinar-sinar paraksial kita dapat menggunakan pendekatan sin θ = θ sehingga
diperoleh
n1i = n2r
Bedasarkan
sifat geometri dapat ditunjukkan bahwa
i = α + β dan
β = γ + r
Apabila ketiga
persamaan terakhir kita gabungkan dengan mengeliminasi i dan r akan diperoleh
n1α + n2γ
= (n2 – n1)β
Jika so
adalah jarak benda O ke titik verteks V dan
s1 adalah jarak bayangan I ke titik verteks V, maka kita dapat menghitung besar sudut α, β dan γ
dalam satuan radial sebagai panjang busur AV
dibagi jari-jari yang terkait
α =AV/so
, β =AV/R
, γ =AV/si
Dengan
memasukkan sudut α, β dan γ ke dalam persamaan terakhir dengan menghilangkan
panjang busur AV akan diperoleh:
Perhatikan
aturan penggunaan persamaan di atas
R bertanda + jika permukaan cembung
R bertanda - jika permukaan cekung
so bertanda + jika benda nyata (di
depan permukaan lengkung)
si bertanda + jika bayangan nyata (di
belakang permukaan lengkung)
si bertanda - jika bayangan maya (di depan
permukaan lengkung)
2.2 Optika Fisis
Optika fisis merupakan cabang studi cahaya yang membahas
tentang sifat-sifat cahaya, interferensi cahaya, hakikat cahaya dan pemanfaatan
sifat-sifat cahaya.
2.2.1
Warna
Cahaya
1. Merah
2. Jingga
3. Kuning
4. Hijau
5. Biru
Gambar
2.12 Piringan Newton 6. Nila
7. Ungu
Dapat
disimpulkan bahwa:
1. Ketujuh
komponen warna disebut sebagai spektrum warna dari sinar putih.
2. Sinar-sinar
yang dapat diuraikan atas beberapa komponen warna seperti sinar putih disebut sinar
polikromatik.
3. Sinar-sinar
yang tidak dapat diuraikan lagi atas beberapa komponen, disebut sinar
monokromatik.
4. Dalam
ruang hampa, cahaya mempunyai :
Ø Kecepatan
perambatan sama (c)
Ø Frekuensi
masing-masing warna berbeda (f)
Ø Panjang
gelombang masing-masing warna berbeda (λ)
5. Rumus
kecepatan perambatan cahaya (c)
c = f .
|
c = kecepatan perambatan cahaya
f = frekuensi
λ = panjang gelombang
Karena harga c tetap, bila
frekuensi kecil maka panjang gelombang besar atau sebaliknya.
6. Cahaya
warna merah mempunyai f kecil maka
besar.
2.2.2
Dispersi
Cahaya
Dispersi
adalah peristiwa penguraian cahaya polikromarik (putih) menjadi cahaya-cahaya
monokromatik (merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu). Dispersi cahaya terjadi
jika seberkas cahaya polikromatik (cahaya putih) jatuh pada sisi prisma. Cahaya
putih tersebut itu akan diuraikan menjadi warna-warna pembentuknya yang disebut
spektrum cahaya.
2.2.2.1 Sudut Deviasi
Gambar 2.13 Pembiasan
cahaya pada prisma
Pada segi empat PSQT berlaku hubungan: β + sudut PSQI = 180o. Sedangkan pada
segitiga PSQ berlaku hubungan: r1 + i2 + sudut PSQ
= 180o. Dengan demikian, diperoleh hubungan baru:
β
+ sudut PSQ = r1 + i2 + sudut PSQ
β = r1 + i2
Dengan β = sudut
puncak atau sudut pembias prisma
r1
= sudut bias pada permukaan pertama
i2
= sudut datang pada permukaan kedua
pada segitiga PQR
berlaku hubungan: sudut PRQ + sudut QPR + sudut PQR = 180o, dimana sudut QPR = i1 – r1
dan sudut PQR = r2 – i2 sehingga diperloleh:
sudut PRQ +
(i1 – r1) + (r2
– i2) = 180o
sudut PRQ = 180o
+ (r1 + i2) – (i1
+ r2)
Dengan demikian, sudut deviasi D adalah
D = 180o
– sudut PRQ
= 180o – [180o + (r1 + i2) - (i1
+ r2)]
= (i1
+ r2) – (r1 + i2)
Karena β = r1
+ i2, maka diperoleh:
D = i1 + r2 – β
2.2.2.2
Sudut
Dispersi
Gambar
2.14 Dispersi cahaya oleh prisma
Apabila spektrum warna
hasil dispersi diurutkan dari warna merah hingga ungu, maka diperoleh beberapa
sifat: sudut deviasi semakin besar, indeks bias semakin besar, frekuensi
semakin besar, dan panjang gelomnang semakin kecil.
Jika ditinjau dari susunan spektrumnya, maka :
1. Indeks bias (n)
|
:
|
Ungu
terbesar sedang merah terkecil.
|
2. Deviasi (D)
|
:
|
Ungu
terbesar sedang merah terkecil.
|
3. Frekuensi (f)
|
:
|
Ungu
terbesar sedang merah terkecil.
|
4. Energi photon (Eph)
|
:
|
Ungu
terbesar sedang merah terkecil.
|
5. Panjang gelombang (
|
:
|
Ungu
terkecil sedang merah terbesar.
|
6. Kecepatan (v)
|
:
|
Ungu
terkecil sedang merah terbesar.
|
Deviasi sinar merah:
Dm
= (nm – 1)β
Deviasi sinar ungu:
Du
= (nu – 1)β
Gambar 2.15 Sudut dispersi pada
prisma
φ = Du
– Dm
= (nu – 1)β – (nm – 1)β
φ = (nu – nm)β
Keterangan:
φ = sudut dispersi
nu
= indeks
bias warna ungu
nm
= indeks
bias warna merah
β = sudut puncak atau sudut
pembias prima
2.2.3
Interferensi
Cahaya
Interferensi
Cahaya
adalah perpaduan dua atau lebih sumber cahaya sehingga menghasilkan keadaan
yang lebih terang (interferensi maksimum) dan keadaan yang gelap (interferensi
minimum). Interferensi maksimum : pada layar didapatkan garis terang apabila
beda jalan cahaya antara celah merupakan bilangan genap dari setengah panjang
gelombang. Sedangkan interferensi minimum
: Pada layar didapatkan garis gelap apabila beda jalan antara kedua
berkas cahaya merupakan bilangan ganjil dari setengah panjang gelombang.
Syarat
interfesi cahaya adalah cahaya tersebut harus koheren. Koheren adalah dua sumber cahaya atau lebih yang mempunyai
frekwensi dan amplitudo sama (hampir sama) serta beda fase yang tetap.
2.2.3.1 Percobaan
Young
Gambar 2.17 Skema percobaan Young
untuk interferensi celah ganda
Sumber cahaya yang monokromatik
dilewatkan suatu celah yang sempit S kemudian diteruskan melalui celah S1
dan S2. S1 dan S2 berlaku sebagai dua buah
sumber cahaya garis yang sejajar dan koheren yang baru.
d sina
= (2k-1)
|
Untuk
min/gelap
d sina
= (2k)
|
Untuk
max/terang
|
Untuk
min/gelap
|
Untuk max/terang
Keterangan
:
S = Sumber utama yang koheren
S1
= Sumber koheren 1
S2
= Sumber koheren 2
d = Jarak antara sumber S1 dan S2
p = Jarak interferensi
l = Jarak antara sumber dan layar
2.2.3.2 Cincin
Newton
Cincin Newton merupakan pola interferensi berupa lingkungan-lingkungan
gelap dan terang secara beraturan. Pola interaferensi cincin Newton ini terjadi
jika cahaya yang panjang gelombanngnya λ datang dalam arah tegak lurus pada
sistem optik dari sebuah lensa cekung-datar dengan jari-jari R yang diletakkan
diatass kaca plan-paralel seperti tampak pada Gambar 2.18.
Gambar 2.18
Sistem optik untuk menghasilkan pola interferensi cincin Newton
Apabila r adalah
jari-jari lingkaran gelap dan terang hasil interferensi, maka syarat terjadinya
interfensi adalah sebagai berikut:
1)
Syarat
terjadinya interferensi maksimum (lingkaran terang)
rt2
=(n –
)
λR n
= 1, 2, 3, . . . .
2)
Syarat
terjadinya interferensi minimum (lingkaran gelap)
rg2
= n λR n = 0,
1, 2, . . . .
2.2.3.3 Interferensi
Pada Lapisan Tipis
Gambar
2.19 Interferensi pada lapisan tipis
Pola
interferensi pada lapisan tipis dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu perbedaan
panjang lintasan optik dan perubahan fasse sinar pantul. Dengan dua fakto itu,
maka syarat-syarat interferensi sebagai berikut:
1) Syarat terjadinya interferensi
maksimum (terangg)
2nd
cos r = (m –
)λ m = 1, 2, 3, . . . .
2) Syarat terjadinya interferensi
minimum (gelap)
2nd
cos r = m
λ m = 0,
1, 2, . . . .
2.2.4
Difraksi
Cahaya (Lenturan Cahaya)
Difraksi
Cahaya adalah peristiwa pembelokan arah sinar jika sinar tersebut
mendapat halangan. Penghalang yang dipergunakan biasanya berupa kisi, yaitu
celah sempit.
2.2.4.1 Difraksi
Pada Celah Tunggal
Gambar
2.20 Difraksi cahaya pada celah tunggal
Gambar
2.21 Difraksi cahaya pada celah tunggal
Hal ini dapat kita kembali
pada percobaan Young. Selisih beda lintasan sinar SA dan SB dapat ditulis SA –
SB = d sin u.
Oleh karena itu, interferensi maksimum (garis terang) terjadi:
SA – SB = (2k + 1)
atau
d sin u
= (2k + 1)
|
SA – SB = (2k)
atau
d sin u
= (2k)
|
Keterangan:
d
= Lebar celah
u = Sudut deviasi (difraksi)
k
= Orde difraksi (0,1,2,3,….n)
l = Panjang gelombang cahaya yang
dipakai
2.2.4.2
Difraksi Pada Kisi
Kisi
adalah peralatan yang memiliki celah yang sangat banyak dengan lebar celah dan
jarak antar celah yang sama. Pola difraksi yang dihasilkan oleh kisi jauh lebih
tajam bila dibandingkan dengan pola interferensi celah ganda maupun celah
tunggal.
d =
|
Gambar
2.22 Difraksi pada kisi
Syarat terjadinya pola difraksi
kisi sebagai berikut:
1)
Pola
difraksi maksimum
d
sin θ = nλ n = 0,
1, 2, . . . .
2) Pola difraksi minimum
d
sin θ = (n –
)λ n = 1, 2, 3, . . . .
2.2.5
Polarisasi
Cahaya (Pengkutuban)
Kita
ketahui bahwa cahaya merambat sebagai gelombang, namun cahaya termasuk dalam
gelombang transversal atau longitudinal belum diketahui. Namun dengan peristiwa
adanya polarisasi, maka dapat dipastikan bahwa cahaya termasuk dalam gelombang
transversal, karena gelombang longitudinal tidak pernah mengalami polarisasi.
Polarisasi cahaya adalah pengkutuban dari pada arah
getar dari gelombang transversal. (Dengan demikian tidak terjadi polarisasi
pada gelombang longitudinal).
Berkas cahaya yang
berasal dari sebuah sumber cahaya, mempunyai arah getar bermacam-macam, sinar
semacam ini disebut sinar wajar. Bila sinar wajar ini dikenakan pada permukaan
pemantulan, permukaan pemantulan mempunyai kecenderungan untuk memantulkan
sinar-sinar yang arah getarnya sejajar dengan cermin. Sampai pada suatu sudut
datang tertentu, hanya satu arah getar saja yang dipantulkan, yaitu arah getar
yang sejajar bidang cermin. Sudut ini disebut sudut polarisasi dan sinar yang
mempunyai satu arah getar saja disebut : sinar polarisasi atau cahaya
terpolarisasi linier.
Cahaya terpolarisasi dapat terjadi
karena :
a. Peristiwa
pemantulan
b. Peristiwa
pembiasan
c. Peristiwa
pembiasan ganda
d. Peristiwa
absorbsi selektif
2.2.5.1
Polarisasi
Cahaya Karena Pemantulan
Polarisasi linier terjadi bila cahaya yang datang
pada cermin dengan sudut 570.
Gambar
2.23 Polaritas karena pemantulan
2.2.5.2
Polarisasi
Cahaya Karena Pemantulan dan Pembiasan
Gambar 2.24 Polaritas
karena pemantulan dan pembiasan
Polarisasi linier terjadi bila sinar pantul oleh
benda bening dengan sinar bias membentuk sudut 900.
Dari
gambar diatas, dapat diketahui :
i' + r = 900
i
=
i’
Menurut Hukum Snellius :
tg ip
=
|
Ditemukan oleh : David Brewster (1781-1868)
Keterangan
:
ip = Sudut datang (sudut
terpolarisasi)
n = Index bias udara
n’ = Index
bias benda bening
2.2.5.3 Polarisasi Cahaya Karena Pembiasan Ganda
Sinar datang
1
2
Gambar
2.25 Polaritas karena pembiasan ganda
Sinar (1)
|
=
|
Sinar istimewa,
Karena tidak mengikuti hukum snellius (hukum pembiasan)
|
Sinar (2)
|
=
|
Sinar biasa, Karena
mengikuti hukum Snellius.
|
Pembiasan berganda ini terjadi pada kristal :
-
Calcite
-
Kwarsa
-
Mika
-
Kristal gula
-
Kristal es
2.2.5.4 Polarisasi
Cahaya Karena Absorbsi Selektif
Gambar
2.26 Absorsi Selektif pada bahan palaroid
I = I0
cos2 q
|
Dengan I0 adalah intensitas gelombang
dari polarisator yang datang pada analisator. Sudut q
adalah sudut antara arah sumbu polarisasi dan polarisator dan analisator.
Persamaan
di atas dikenal dengan Hukum Malus, diketemukan oleh Etienne Louis
Malus pada tahun 1809.
Dari persamaan hukum
Malus ini dapat disimpulkan :
1. Intensitas
cahaya yang diteruskan maksimum jika kedua sumbu polarisasi sejajar (q
= 00 atau q = 1800).
2. Intensitas
cahaya yang diteruskan = 0 (nol) (diserap seluruhnya oleh analisator) jika
kedua sumbu polarisasi tegak lurus satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Optika merupakan cabang ilmu fisika yang mempelajari
tentang konsep cahaya, terutama mengkaji sifat-sifat cahaya, hakikat, dan
pemanfaatannya. Optika terbagi atas dua bagian yaitu optika geometris merupakan
optika yang membahas tentang pemantulan dan pembiasan cahaya, dan optika fisis merupakan
cabang studi cahaya yang membahas tentang sifat-sifat cahaya, interferensi
cahaya, hakikat cahaya dan pemanfaatan sifat-sifat cahaya.
Optika geometris meliputi pemantulan cahaya
(pementulan pada cermin datar, pemantulan pada cermin cekung dan pemantulan
pada cermin cembung), dan pembiasan. Sedangkan optika fisis meliputi warna
cahaya, dispirasi cahaya,interferensi cahaya, difraksi cahaya, polaritas
cahaya, dan pengukuran cahaya.
1.2 Saran
Dalam kehidupan sehari-hari kita tak lepas dari
cahaya, baik cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya lampu, maupun cahaya api.
Oleh karena itu, mari kita mempelajari sifat-sifat cahaya, hakikat cahaya dan
pemanfaatannya, karena cahaya sangatah penting bagi makhluk hidup.
DAFTAR PUSTAKA
http://adiwarsito.files.wordpress.com/2009/10/optika-fisis.doc (diakses pada tanggal 26-03-2013
jam 09.30).
http://fiddalanovaputri.blogspot.com/2010/12/dispersi-cahaya-mengapa-terjadi.html (diakses pada tanggal 02-04-2013 jam
09.30).
http://kanguzen.blogspot.com/2010/05/optik-geometrik.html (diakses pada tanggal 25-03-2013 jam 06.30).
Supiyanto. 2006. Fisika Jilid 3 untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Phibeta.
thanks you very much
ReplyDeletethanks gan sudah share
ReplyDeleteobeng samsung plus ori